Karya : Khalyandhara Pramesthi Regita Wulan
Kelas : 9.7 / 15
Juara 1 Lomba Cerpen HUT SMPN 21 Malang 2021
Senin pagi di sebuah sekolah di desa kecil lereng gunung wilis , sayup sayup terdengar suara anak-anak membacakan teks Pancasila.
"Pancasila"…
“Satu.... Ketuhanan Yang Maha Esa…
“Dua…” Kemanusiaan yang adil dan beradab
Koor bergelora dari puluhan anak yang mengikuti upacara bendera. Suara mereka menggema menembus langit-langit sekolah yang atap nya mulai rapuh , membangunkan anak-anak burung gereja yang sedang tidur sambil menikmati semilir angin pegunungan , suara mereka gemuruh mengalahkan debur ombak yang memecah karang di pinggiran pantai.
Dia bernama Sumarni , teman-teman biasa memanggilnya "Marni" , gadis kecil yang selalu ceria , sudah hampir 3 bulan menjadi salah satu siswi di sekolah dasar ini. Berarti sudah 12 kali dia mengikuti upacara bendera dan selalu terkesima dan khidmat setiap kali lima kalimat yang menjadi tonggak dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibacakan. Lima kalimat ini begitu magis, menghipnotis jiwa Marni yang usianya belum genap 8 tahun.
Dia bersama puluhan siswa lainnya berdiri tegak dalam dekapan sang matahari pagi yang mulai terik menyapa tubuh mereka tanpa ampun. Butir-butir keringat mulai nampak di keningnya tapi tak sedikitpun dia berusaha menyekanya. Wajahnya tetap tegak, lurus ke depan, memandang tiang bendera dari tiang besi yang mulai nampak berkarat di sana-sini.
Selepas pulang sekolah, sepanjang jalan Marni asyik bermain-main dengan kata-kata dalam kepalanya. Berusaha mengingat lima sila yang baru saja diucapkannya tadi pagi. Tapi sulit bagi Marni terlebih bunyi sila keempat yang terlalu panjang baginya.
Dengan rambut di kepang dua dan sandal jepit yang kebesaran, gadis kecil berkulit gelap karena terlalu sering tersengat matahari itu berlari-lari menemui ayahnya yang sedang membetulkan sabit yang dari kemarin lepas kayu pegangannya. Ayah Marni adalah seorang petani turun-temurun. Darah petani mengalir kuat dalam nadi keluarga ini. Salah satu profesi yang paling banyak ditekuni di wilayah pedesaan.
“Ayah, ayah hafal Pancasila tidak?” tanya Marni sambil melepas topi dan mengibas-ngibaskan ke arah lehernya untuk mengusir hawa panas karena teriknya matahari sepulang sekolah.
Ayahnya berhenti sejenak dari pekerjaan yang sejak tadi ditekuninya. Sambil mengerutkan dahi seolah mencoba mengingat sesuatu , ayahnya menggeleng, lalu menghisap rokok kreteknya dalam-dalam sambil membuang pandangannya ke arah pepohonan di belakang rumahnya.
“Itulah kenapa ayah mau kamu rajin sekolah, nduk. Supaya kamu jadi orang pinter, bisa kerja di kantoran. Ndak seperti ayahmu yang bodoh ini, yang jangankan hafal Pancasila wong baca tulis aja ora iso.” Katanya sambil membelai rambut anak nya itu dengan penuh kasih sayang.
“Kalimatnya panjang-panjang, yah. Sulit sekali di hafal.” Kata Marni dengan wajah polosnya.
“Oh, begitu. Coba tanyakan sama kakak kamu, barangkali dia hafal, dia kan sudah kelas enam , ayah janji, " nanti kalau ayah ada rejeki lebih akan ayah belikan poster Pancasila yang sekaligus ada gambar garudanya.”
“Janji?” Kata Marni
“Janji.” Kata si ayah sambil sambil melingkarkan jari kelingkingnya.
Marni meloncat kegirangan dengan sandal jepitnya yang kebesaran itu , seorang gadis kecil dan anak seorang petani dari desa kecil ini terlihat bahagia dengan janji ayah nya.
Janji ayah memang bukan omong kosong, keesokan harinya Marni sumringah melihat poster Pancasila sudah tertempel di dinding sebelah dapur yang merangkap sebagai ruang keluarga sekaligus kamar mereka. Poster pancasila berlatar burung garuda dan Sang Proklamator berkacamata hitam gagah dengan sorot muka yang menggambarkan semangat membara.
Perlahan Marni mengeja setiap kata yang ada di poster itu. Hatinya bahagia , jiwa nasionalismenya buncah, wajahnya merah padam menahan haru menghayati setiap kata yang tertulis di poster itu.
“Ayah itu siapa?” tanya Marni sambil menunjuk lelaki gagah dengan kacamata hitam terpampang di poster Pancasila itu.
“Itu Pak Karno, Nduk.”
“Pak karno?” jawab Marni.
“Iya, itu Presiden Soekarno. Presiden pertama Indonesia , Orang yang menggagas Pancasila.”
“Oh iya, Marni sering dengar di sekolah nama Soekarno. Jadi bapak itu yang membuat pancasila. Kenapa tulisannya panjang-panjang ya, yah?. Aku jadi kesulitan menghafalnya , kalau kalimatnya pendek-pendek kan aku jadi mudah menghafalnya.” Kata Marni polos.
Ayah dan Ibu Marni hanya bisa menahan senyum mendengar kata-kata Marni yang polos itu.
“Mulai sekarang kamu jadi mudah menghafal Pancasila. Jangan sampai ayah belikan tapi kamu tidak baca ya!”
“Iya, Yah. Marni janji , Marni akan menghafalnya , tapi sila ke empat itu susah, panjang sekali.”
“Jangan menyerah Nduk. Kamu pasti bisa.”
Mendengar dukungan penuh dari Ayah nya Marni semakin bersemangat untuk menghafal Pancasila.
Semalaman Marni berputar-putar, bolak-balik antara buku pelajaran dan poster yang menggantung di dinding. Obsesinya untuk menghafal pancasila mengalahkan rasa kantuknya.
Sampai akhirnya dia tertidur di bawah posternya .
Pagi harinya , Marni bersiap untuk berangkat sekolah , dengan wajah ceria nya berseragam merah putih , bersepatu hitam dia berjalan kaki ke sekolahnya sambil terus berusaha menghafalkan Pancasila.
Setibanya di sekolah seperti biasanya Marni masuk kelas bertemu dengan teman-teman nya , memulai aktivitas belajar. Kebetulan jam pertama pelajaran nya adalah tentang kesaktian Pancasila . Ibu guru Asih hari ini akan mengajar tentang Bab Kesaktian Pancasila , Marni dengan wajah ceria nya terlihat sangat antusias mendengar kan ibu guru Asih bercerita ...
"Anak anak hari ini ibu akan membahas tentang Kesaktian Pancasila , tanggal 1 Oktober di Indonesia diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Peringatan Kesaktian Pancasila ini berakar pada sebuah peristiwa tanggal 30 September 1965. Konon, ini adalah awal dari Gerakan 30 September (G30S PKI). Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis.
Hari itu, enam orang Jenderal dan beberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun konon berkat kesadaran Rakyat Indonesia untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan.
Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila."
Marni yang terlihat antusias tadi tiba tiba mengacungkan tangan nya , " Bu guru saya mau bertanya " , Bu Asih menjawab " iya nak silahkan. Marni dengan wajah penasaran melontarkan pertanyaan nya, " bu guru kalau Pancasila itu sakti , berarti dia kuat terhadap serangan apapun ya bu ?"
Bu guru Asih sambil tersenyum menjawab pertanyaan Marni , " iya betul nak , Pancasila adalah dasar negara kita , pondasi yang kuat negara kita. Kita wajib menjaga , dan mengamalkannya , jangan sampai ideologi bangsa kita diubah oleh kaum yang tidak bertanggung jawab"
Pancasila adalah pemersatu seluruh Rakyat Indonesia , yang berbeda-beda suku ,Agamanya .
Marni yang masih antusias dengan jawaban bu guru Asih , terlihat lega dengan apa yang sudah ia dengarkan , matanya berbinar , dalam hatinya berkata bahwa dia bangga jadi bangsa Indonesia , dia bangga punya Pancasila.
Bu guru Asih tiba tiba melontarkan pertanyaan , " Ayo anak-anak siapa yang hafal Pancasila ? angkat tangan "
Marni dengan spontan dan bersemangat ," saya bu, " bu guru Asih tersenyum dan berkata ," Ayo Marni maju ke depan , kalau Marni hafal , ibu akan berikan nilai 100 "
Marni dengan semangat melangkah kan kaki kecilnya ke depan kelas , meskipun dalam hatinya berdebar kencang , tapi dia yakin dia bisa , tepat di sebelah kanan bu guru Asih berdiri Marni menarik nafas panjang dan memulai melafalkan Pancasila dengan khidmat..
" Pancasila "
"Satu.... Ketuhanan yang Maha Esa"
"Dua.... Kemanusiaan yang adil dan beradab"
"Tiga .... Persatuan Indonesia"
"Empat .... Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat , kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
" Lima....Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia "
Marni bernafas lega , ternyata dia berhasil menghafalkan Pancasila dengan baik.
Gemuruh tepuk tangan dari teman-teman dan bu guru Asih membuat dia terharu sekaligus bangga. Bahwa apa yang selama ini dianggapnya sulit , dia bisa melewati nya dengan sempurna .
Marni…..adalah contoh kecil perwujudan rasa nasionalisme sejak usia dini , Indonesia bangga punya generasi penerus seperti Marni , berjiwa nasionalisme yang tinggi , berani dan pantang menyerah meskipun umurnya masih terbilang sangat muda.
Kita generasi muda harus bangga jadi bagian rakyat Indonesia , dan selalu tanamkan nilai-nilai Pancasila didalam jiwa kita .